HUKUM SEPUTAR AMALAN, HIZIB DAN AZIMAT



Banyaknya pertanyaan dan tentangan mengenai Amalan, Hizib dan Azimat (Jimat) serta Ruqyah, maka  postingan ini merupakan jawaban dari problematika tersebut. Dalil-dalil yang seabreg banyaknya tak mungkin dicatat semua di sini. Maka hanya akan ditampilkan dua jawaban dari dua ulama ternama Indonesia, yakni KH. Muhyiddin Aabdusshomad dan Guru Mulia al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa. Silakan nikmati hidangan kali ini, semoga memberikan manfaat dan pencerahan Aamiin.

A. Amalan, Hizib dan Azimat

Berikut adalah jawaban tentang Amalan, Hizib dan Azimat:

Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah Swt. Jadi sebenanya, membaca hizib dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah Swt. Dan Allah Swt. sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepadaNya. Allah Swt. berfirman:

اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Berdoalah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu.” (QS. al-Mu’min ayat 60).

Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik al-Asyja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab: “Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR. Muslim no. 4079).

Dalam ath-Thibb an-Nabawi, al-Hafidz adz-Dzahabi menyitir sebuah hadits: “Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah Swt. yang sempurna dari kemurkaan dan siksaanNya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hambaNya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku.” Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.” Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-¬anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya.” (Ath-Thibb an-Nabawi halaman 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

“Dari Abdullah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR. Ahmad no. 3385).

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan: “Keharaman yang terdapat dalam hadits itu atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah Swt., maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah Swt., atau dzikir kepadaNya.” (Faidh al-Qadir juz 6 halaman 180-181).

lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.

Al-Marrudzi berkata: “Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, Basmalah, surat al-Fatihah dan Mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).”

Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, Basmalah, Bismillah wa Billah wa Muhammad Rasulullah, QS. al-Anbiya ayat 69-70, Allahumma Rabbi Jibrila dst. Abu Dawud menceritakan: “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS. Hud ayat 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah juz II halaman 307-310).

Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan:

1. Harus menggunakan Kalam Allah Swt., Sifat Allah, Asma Allah Swt. ataupun sabda Rasulullah Saw.
2. Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.
3. Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah Swt. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja. (Al-Ilaj bi ar-Ruqa min al-Kitab wa as-Sunnah halaman 82-83).

B. Mengambil Keberkahan atas Jimat atau Tulisan Ayat-ayat al-Qur’an

Tulisan berikut adalah tanggapan al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa atas Pernyataan Syekh Bin Baz:

• Pernyataan Bin Baz bahwa memakai jimat atau tulisan ayat-ayat al-Quran untuk mengambil keberkahannya adalah Syirik:

“Sebagaimana wajibnya merealisasikan tauhid serta memenuhi syarat-syarat kalimat “Laa illaaha illa Allah” kita juga mesti takut dan berhati-hati terhadap segala bentuk syirik, pintu-pintu dan tempat-tampat masuknya, baik itu yang kecil maupun yang besar. Karena sesungguhnya sebesar-besar kedzaliman adalah syirik. Allah Ta’ala mau mengampuni semua dosa hambaNya, kecuali (dosa) syirik. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalamnya, Allah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” (QS. an-Nisaa ayat 48).

Dan berikut di bawah ini akan kita kemukakan beberapa hal yang bertentangan atau dapat merusak tauhid, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, agar anda berhati-hati terhadapnya:

1). Memakai penangkal dengan tujuan menolak bala atau menghilangkannya, seperti kalung dan benang, baik yang terbuat dari kuningan, tembaga, besi ataupun kulit. Perbuatan seperti ini syirik.

2). Mantera-mantera bid’ah dan jimat-jimat. Mantera-mantera bid’ah ialah yang mengandung rumus-rumus dan kata-kata yang tidak dapat dipahami meminta bantuan jin untuk mengenai penyakit atau melepaskan sihir (guna-guna). Atau memakai jimat-jimat, yaitu yang biasa dipakaikan kepada manusia atau hewan berupa benang atau ikatan, baik yang bertuliskan ungkapan (do’a) bid’ah yang tidak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, maupun (doa-doa) yang terdapat dalam keduanya menurut pendapat yang shahih karena hal ini dapat menjadi sarana menuju perbuatan syirik. Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampian, jimat-jimat dan pelet (guna-guna) adalah syirik.“ (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Dan termasuk dalam hal ini adalah meletakkan mushaf (al-Quran) atau menggantungkan kertas, sekeping tembaga atau besi yang bertulisan Lafdzul Jalalah (nama Allah) atau ayat kursi di dalam mobil, dengan keyakinan bahwa (tindakan) itu dapat menjaganya dari segala yang tidak diinginkan, seperti penyakit ‘Ain (yang disebabkan oleh pandangan jahat) dan seumpamanya. Demikian juga halnya, meletakkan sesuatu berbentuk telapak tangan atau lukisan, yang di dalamnya terdapat gambar mata dengan keyakinan bahwa ini juga dapat mencegah penyakit ‘Ain. Rasulullah Saw. bersabda: ”Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (jimat) dia akan diserahkan (urusannya) kepada jimat tersebut.” (HR. Ahmad, Tirmidziy dan al-Hakim).

• Tanggapan al-Habib Mundzir al-Musawa mengenai memakai jimat atau tulisan ayat-ayat al-Quran untuk mengambil keberkahannya adalah syirik:

“Banyak orang yang keliru memahami makna hakikat tabarruk dengan Nabi Muhammad Saw., peninggalan-peninggalannya, ahlul baitnya dan para pewarisnya yakni para ulama, para kyai dan para wali. Karena hakekat yang belum mereka pahami, mereka berani menilai kafir (sesat) atau musyrik terhadap mereka yang bertabarruk pada Nabi Saw. atau ulama. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Berkatalah Nabi mereka pada mereka, bahwa bukti bahwa ia diberi kekuasaan adalah peti yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan kalian, dan bekas-bekas peninggalan keluarga Musa (As.) dan keluarga Harun (As.) yang dibawakan oleh malaikat, sungguh pada hal itu terdapat tanda-tanda jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Baqarah ayat 248).

Maka azimat (ruqyat) dengan huruf Arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada kitab Faidh al-Qadir juz 3 halaman 192 dan Tafsir Imam Qurthubiy juz 10 halaman 316-317, dan masih banyak lagi penjelasan para muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata-mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat-ayat al-Qur’an.

Mengenai benda-benda keramat, maka ini perlu penjelasan yang sejelas-jelasnya, bahwa benda-benda keramat itu tak bisa membawa manfaat atau mudharat, namun mungkin saja digunakan tabarrukan (mengambil berkah) dari pemiliknya dahulu, misalnya ia seorang yang shalih, maka sebagaimana diriwayatkan:

1. “Setelah Rasul Saw. wafat maka Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menjadikan baju beliau Saw. sebagai pengobatan, bila ada yang sakit maka ia mencelupkan baju Rasul Saw. itu di air, lalu air itu diminumkan pada orang yang sakit.” (HR. Muslim hadits no. 2069).

2. “Diriwayatkan ketika Rasul Saw. baru saja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu dipakai oleh Rasul Saw., maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat itu berkata: “Aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh Nabi Saw. dan kuinginkan untuk kafanku nanti.” (HR. Bukhari hadits no. 5689). Demikian cintanya para sahabat pada Nabinya Saw., sampai kain kafan pun mereka ingin yang bekas sentuhan tubuh Nabi Muhammad Saw.

3. “Diriwayatkan dari sahabat Ubaidah Ra. bahwa kami memiliki rambut Rasul Saw., maka ia berkata: “Kalau aku memiliki sehelai rambut beliau Saw., maka itu lebih berharga bagiku dari dunia dan segala isinya.” (HR. Bukhari hadits no. 168). Demikianlah mulianya sehelai rambut Nabi Saw. di mata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.

4. “Diriwayatkan ketika Anas bin Malik Ra. dalam detik-detik sakaratul maut ia yang memang telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasul Saw. dan beberapa helai rambut Rasul Saw., maka ketika ia hampir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam kafan dan hanutnya.” (HR. Bukhari hadits no. 5925).

Dan berikut di bawah ini akan kita kemukakan beberapa hal yang bertentangan atau dapat merusak tauhid, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, agar anda berhati-hati terhadapnya.

1. Sebagaimana sabda Nabi Saw.: “Keberkahan adalah pada orang-orang tua dan ulama kalian.” (Shahih Ibn Hibban hadits no. 559).

2. Telah dibuktikan pula secara ilmiah oleh salah seorang Professor Jepang, bahwa air itu berubah wujud bentuknya dengan hanya diucapkan padanya kalimat-kalimat tertentu, bila ucapan itu berupa cinta, terimakasih dan ucapan-ucapan indah lainnya maka air itu berubah wujudnya menjadi semakin indah, bila diperdengarkan ucapan cacian dan buruk maka air itu berubah menjadi buruk wujud bentuknya. Dan bila dituliskan padanya tulisan mulia dan indah seperti terimakasih, syair cinta dan tulisan indah lainnya maka ia menjadi semakin indah wujudnya, bila dituliskan padanya ucapan caci-maki dan ucapan buruk lainnya maka ia berubah buruk wujudnya, kesimpulannya bahwa air itu berubah dengan perubahan emosi orang yang di dekatnya, apakah berupa tulisan dan perkataan.



Walillahitaufiq

Related product you might see:

Share this product :

+ komentar + 3 komentar

17 November 2016 pukul 00.40

Tidak apa-apa menggunakan Azimat atau do'a-do'a hajat lainnya, asalkan semuanya dimohon kepada Allah SWT. Kalau kaum Wahabi me-musyrik-kan, seperti Udyadz Bin Baz itu, karena beliau hanya kwatir disalah gunakan saja oleh orang awam. Tapi pada dasarnya tidak apa-apa dan bahkan ulama-ulama salaf yang lebih alim dari Ustd. Bin Baz, seperti Imam Ahmad Bin Hambali dan lainnya melakukan hal itu. Tolong pendapat Bin Baz di atas jangan dianggap benar secara mutlak, karena beliau hanya merasa kwatir saja, kalau disalah gunakan oleh orang awam. Tapi bagi yang alim dan paham tentang hal ini, BOLEH-BOLEH saja kok. Begitu kawan ... !

19 Maret 2018 pukul 11.06

amiinn

19 Maret 2018 pukul 11.07

amiinn

Posting Komentar

 
Support : Creating Website
Copyright © 2011. Spiritual Karomah - All Rights Reserved
Published by SPIRITUAL KAROMAH